8 min read

Prasangka & Refleksi

Saat aku jatuh sakit, aku selalu berharap sakitku bukan sakit yang berkepanjangan. Seringkali aku sedang menikmati sesuatu –yang dulunya aku berusaha menikmatinya– namun tiba-tiba jatuh sakit. Sehingga kenikmatan itu seperti lewat begitu saja, tak sampai aku resapi, seolah sari-sarinya dihisap oleh penyakit.

Beberapa tahun lalu aku mencoba memberanikan diri mengajar secara daring, sudah pasti aku gugup. Sesuatu yang baru kita coba, sudah pasti tidak sempurna – apapun itu. Seiring berjalannya waktu organ berpikirku seolah tak ingin berhenti menyuplai kalimat-kalimat yang harus aku ucapkan, kegugupan itu hilang begitu saja karena kebiasaan.

Tak ada kemampuan khusus yang aku pelajari, aku tidak pergi ke tempat kursus untuk memahami pedagogik, aku tidak pergi ke tempat motivator agar rajin mengajar. Semuanya seolah mengalir dengan khidmat.

Awalnya, yang membuatku berhenti mengajar hanya sekadar soal motviasi, aku tidak tahu kenapa harus melakukan itu. Sekarang motivasi itu sudah terbentuk menjadi fondasi yang kokoh, tahan guncangan kemalasan. Kini yang membuatku berhenti adalah penyakit.

Seringkali aku bertanya-tanya, mengapa aku harus sakit di saat aku sedang menikmati hal yang sedari dulu aku usahakan untuk menikmatinya. Aku bersungguh-sungguh bahwa aku berada di dalam keadaan sangat begitu menikmati berbagi ilmu yang aku kuasai. Aku rela menghabiskan mayoritas dari waktuku untuk mengajar. Bahkan sifat perfeksionisku hadir saat aku mengajar, aku selalu ingin menghasilkan yang paling terbaik.

Aku rela mengulang menjelaskan suatu konsep hingga puluhan kali sampai bagian perfeksionis dalam diriku puas dengan hasilnya. Tak jarang aku menghabiskan berjam-jam hanya untuk menjelaskan konsep yang tak lebih dari 10 menit. Ruang penyimpanan komputerku habis diserap oleh video-video kegagalanku.

Aku pun tidak begitu peduli soal uang yang aku hasilkan dari kerja kerasku mengajar. Sungguh, fokusku hanya ingin mengajar saja, selain itu aku anggap hanya bonus.

Aku tak pernah berpikir panjang entah orang-orang akan menonton video yang kubuat atau tidak, tujuanku adalah membuat video pembelajaran sebaik dan sekomprehensif mungkin. Sangat bersyukur bila banyak yang menonton, bila sedikit juga tidak masalah, itu tidak akan membuatku berhenti, sebab aku sedang menikmatinya.

Mengajar hanya salah satu dari beberapa hal yang sedang aku nikmati namun harus terhenti. Berbakti pada orang tua dan keluarga sedang aku nikmati juga.

Aku terlahir dari keluarga miskin, Ibu dan Bapakku bertanggungjawab hingga aku dewasa, masa-masa sulit yang mendewasakanku lebih cepat dari yang seharusnya. Kondisi seperti ini yang membentuk pikiranku untuk menaikkan derajat keluargaku sendiri.

Awalnya aku tidak mengerti, mengapa aku harus menjadi seorang yang bertanggungjawab atas keluargaku? Bukankah itu tugas orang tuaku? Karena aku tidak meminta dilahirkan, maka tanggungjawabku hanya pada diri sendiri. Secara logis memang benar, namun tentu saja aku akan menjadi durhaka dalam perspektif agama bila berpikir seperti itu.

Aku bisa saja berdebat mati-matian agar aku dapat berpikir untuk hidupku sendiri, tapi apa yang akan aku dapatkan? Kepuasan duniawi yang semu. Bagiku hidup seperti itu begitu membosankan. Tak ada kebahagiaan di situ.

Saat aku lebih muda lagi, berbagi pada orang tua hanya sekadar kewajiban pikirku, sekecil apapun yang aku berikan, maka kewajibanku gugur. Tak peduli itu cukup atau tidak, yang penting aku sudah berbagi.

Semakin bertambah umur semakin aku dapat memahami lebih bijaksana lagi situasi ini. Bukan lagi soal kewajiban, namun juga soal kebutuhan. Itu berarti seberapa besar yang aku berikan, bila itu tidak mencukupi kebutuhan maka aku harus terus berbagi. Logika sederhananya seperti itu.

Mungkin jiwa remajaku masih belum begitu dewasa untuk berpikir lebih realistis kondisi seperti ini. Dahulu acapkali aku berpikir untuk diriku juga, tapi seolah-olah aku merelakan begitu saja apa yang menjadi impian pribadiku demi hal yang menurutku lebih prioritas dan juga bagian dari impianku ini.

Seperti pria dewasa pada umumnya, aku berpikir untuk menikah walaupun pada awalnya aku tidak berniat sampai aku berdebat dengan pamanku –beliau seorang Kyai– bahwa fitrah manusia itu menikah. Aku jadi mulai memikirkan kapan aku harus menikah dan entah peristiwa itu akan terjadi atau tidak. Setidaknya aku memiliki niat untuk itu, sesuai dengan nasihat dari pamanku.

Aku juga harus memiliki tempat tinggalku sendiri, kendaraanku sendiri, dan segala hal yang aku butuhkan sebelum aku memiliki seorang Istri. Tentu saja semua itu impian pribadiku.

Aku tidak pernah membunuh impian pribadiku, aku mengubur dan menyemaikannya seperti benih, lalu disirami setiap hari dengan kerelaan, kebahagiaan, dan keridhaan orang tua, hingga impian itu tumbuh dengan sempurna. Aku bersungguh-sungguh bahwa kedua hal seperti ini sangat aku nikmati dan sumber kebahagiaanku, tak mungkin aku behenti, karena aku sedang menikmatinya.

Kamu tak mungkin berhenti memetik gitar ketika kamu sedang menikmati lick yang sedang kamu mainkan sampai tanganmu pegal atau bagian dari gitarmu tak berfungsi dengan semestinya. Ada bagian dalam diriku yang tak berfungsi dengan semestinya, itu yang membuatku terhenti.

Wajahku acapkali penuh ringis, pikiranku seolah berada di ruang angkasa, batinku memucat. Do'aku seolah berujung kekecewaan, tentu aku menjadi manusia durhaka bila berpikir seperti itu. Aku coba menelaah tentang apa yang aku alami.

Kekecewaan pada diriku muncul bukan sebab aku berdo'a, melainkan karena harapan manusiawi yang aku ciptakan sendiri. Boleh jadi aku berpikir bahwa aku sebaiknya sehat dan aku bisa terus menikmati hal-hal tadi, tapi tentu saja Allah lebih bijaksana. Ia tahu yang terbaik bagiku, bukan yang terbaik menurutku. Memangnya aku ini siapa? Akulah manusia abai itu.

Boleh jadi Allah memintaku beristirahat yang cukup, boleh jadi Allah menegurku agar tak lagi menjadi manusia yang abai, boleh jadi Allah sedang menggugurkan dosa-dosaku yang banyak itu. Tentu saja aku tak pernah tahu secara spesifik rencana terbaik itu, namun setidaknya aku harus tetap berpikir yang baik-baik terhadap Allah, bukankah Allah sesuai dengan prasangka kita?

Soal prasangka terhadap Allah, aku jadi ingat kisah Nabi Isa dan Nabi Yahya dalam kitab Fihi Ma Fihi:

Nabi Isa sering tertawa, sementara Nabi Yahya sering menangis. Nabi Yahya lantas berkata kepada Nabi Isa, “Kau sering tertawa seperti itu karena kau merasa aman dari tipuan yang sangat halus?” Isa menjawab, “Kau sering menangis seperti itu karena kau lupa sama sekali akan pertolongan dan kebaikan Allah yang begitu halus, lembut, dan luar biasa?" Seorang wali Allah mendengar dialog Nabi Isa dan Nabi Yahya itu. Ia lantas bertanya kepada Allah, "Manakah dari keduanya yang makamnya lebih tinggi?" Allah menjawab, "Yang paling baik sangkaannya kepada-Ku.” Aku tergantung sangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Setiap hamba memiliki bayangan dan gambaran tentang-Ku. Dalam gambaran apa pun yang dibayangkan tentang-Ku, di situlah Aku. Aku adalah hamba bagi bayangan di mana Aku ada. Aku takkan memedulikan hakikat di mana tidak ada Aku. Karena itu, bersihkanlah bayang-bayangmu, wahai hamba-Ku. Sebab, di situlah tempat tinggal-Ku.

Pada dasarnya kekecewaan muncul karena adanya ketidaksesuaian antara harapan dan realita. Aku tidak mungkin kecewa bila tidak menaruh harapan, atau harapanku sesuai dengan realitanya.

Apakah jadinya aku tidak boleh menaruh harapan pada Allah? Bukan seperti itu, tentu sebagai hamba hanya kepada Allah aku menaruh harapan, bukan pada manusia. Seandainya aku berdo'a dan tak sesuai harapanku, berarti harapanku hanya yang terbaik menurutku saja, bukan yang terbaik untukku menurut Allah, tentu Allah yang maha bijaksana tahu apa yang baik untukku.

Ketika aku berdo'a, aku meminta segala apa yang aku lihat, yang aku rasakan, yang menurutku terbaik, yang menurutku jalan keluar. Semua do'a itu aku minta sebagai manusia yang terbatas. Tentu pandangan Allah lebih luas dari pada manusia.

Aku takkan berhenti berdo'a walaupun menurutku do'aku itu belum terkabul. Aku ingat perkataan Maulana Rumi soal do'a yang belum terkabul: Allah senang kita berdo'a sambil menangis, jadi do'a kita tidak langsung dikabul, supaya kita datang dan berdo'a lagi. Seandainya do'a kita dikabul begitu saja, kita akan berhenti berdo'a. Analoginya, seandainya ada pengamen bersuara emas, tentu saja kita akan menikmati ia bernyanyi, tapi bila pengemen tersebut bersuara sumbang, kita akan cepat-cepat memberikan uang agar dia segera pergi.

Kira-kira redaksinya seperti itu, karena aku lupa lengkapnya seperti apa. Aku ingat kalimat tersebut saat membaca kitab Fihi Ma Fihi sekitar 3 atau 4 tahun lalu.

Ketika aku jatuh sakit, acapkali semua rasa sakit yang menyerang fisik masih bisa aku tahan, tapi tidak dengan yang lain. Saat aku sakit seolah pikiranku pergi ke ruang angkasa, sehingga memungkinkan untukku untuk melihat semuanya: masa lalu, penyesalan, dan kematian.

Aku selalu memahamkan pada diriku bahwa seluruh tubuhku ini milik Allah, aku hanya dititipkan, seandainya nyawaku diambil, maka aku akan menjadi lengkap. Seandainya aku sakit, rasa bersalahku bukan saja pada diriku sendiri, juga pada pemilik tubuhku. Bukankah aku begitu abai sehingga ada bagian dari tubuh ini yang tidak berfungsi dengan semestinya? Saat itupun ringis mulai memenuhi wajahku.

Tentu saja aku tidak dapat menolak bila tubuhku ini diambil, dan aku pun tidak akan pernah tahu kapan peristiwa itu akan terjadi. Seandainya aku dapat memilih, aku ingin peristiwa itu terjadi pada saat aku menikmati waktu-waktu mengajarku. Tidakkah itu indah? Aku akan menjadi lengkap dalam keadaan berbahagia dan sekaligus menikmati.

Apa yang hilang dalam diriku hanya akan menjadi kabar bagi orang lain, menjadi duka bagi yang terdekat, menjadi ingatan bagi yang mencintai.

Aku tak pernah membayangkan peristiwa itu terjadi, karena aku tak mampu membuat simulasinya. Aku selalu berpikir hidup bukan soal apa-apa yang terjadi setelah kematian, juga soal apa-apa yang ditinggalkan setelah kehidupan. Tentu saja hal yang baik mengingat kematian, tapi bukan dijadikan pleidoi untuk menjadi seorang pecundang.

Seolah-olah hidup hanya soal setelah kematian, sehingga tak pernah berpikir realistis terhadap kehidupan saat ini.

Bukan hanya pada sudut pandang agama, bila kamu seorang Stoa mengingat kematian sudah menjadi sebuah "akidah" yang harus kamu amini. Memang banyak dampak positif bila kita mengingat kematian, kita bisa berefleksi soal sudah sebaik apa kita menjalani hidup ini.

Mungkin saja kita berpikir siapa saja yang akan datang ke pemakaman kita nanti, tentu saja pikiran itu akan membawa kita pada refleksi soal kehidupan yang kita jalani. Tidak mungkin orang sudi datang bila kita menjadi manusia yang brengsek semasa hidup.

Tentu saja berbuat baik karena memang tabiat manusia itu berbuat baik, bukan karena agar orang lain berbuat baik juga, bukan karena ingin imbalan, bukan karena apapun. Berbuat baik hanya karena orang lain berbuat baik juga, berarti masih berharap imbalan. Mudah saja orang berhenti berbuat baik ketika orang lain tidak berbuat hal yang sama padanya. Tentu bukan seperti itu konsepnya.

Berbuat baik pada orang lain itu sesuatu yang bisa kita kendalikan, sikap orang lain tidak ingin berbuat baik pada kita itu di luar kendali kita, jadi seharusnya bukan berarti kita berhenti berbuat baik hanya karena orang lain tidak berbuat baik.

Aku berbuat baik bukan karena ingin dapat pahala, bukan berarti tidak menginginkan itu. Juga bukan perkara surga, bukan berarti tidak menginginkan surga, tapi ini soal tujuan. Bukankah akan menjadi pertanyaan seandainya tidak ada konsep surga-neraka & pahala-dosa, apakah manusia masih akan berbuat baik?

Tentu saja setiap orang ingin menetap di surga setelah kehidupannya di dunia, tapi ini bicara soal niat baik dan ketulusan dalam berbagi.

Suatu waktu terdapat peristiwa yang aku alami, peristiwa yang membuatku berpikir ulang secara menyeluruh soal perbuatan yang aku anggap baik, yang aku anggap berniat baik. Aku coba telusuri dasar pikiranku sendiri soal konsep ini, mencoba berefleksi, mengingat kembali apa saja yang pernah aku lakukan, sampai pada akhirnya aku menemukan pikiran-pikiran baru.

Pikiran-pikiran baru yang mempertanyakan beberapa hal pada diriku: soal niat, soal ketulusan, dan soal prioritas. Dalam profesiku sekarang, aku bisa berbuat baik dengan mudah, misal aku dapat membuat desain atau membuat pustaka kode yang memudahkan pekerjaan orang lain. Itu sudah dapat dihitung berbuat baik. Mengajarkan apa yang aku kuasai kepada orang lain juga termasuk ke dalamnya.

Bila bicara prioritas, aku sering berpikir bahwa niat baikku belum tentu baik. Bukan berarti perbuatannya menjadi buruk, perbuatannya tetap baik, namun ini soal waktu saja. Segala sesuatu harus dikerjakan pada waktunya sendiri.

Aku bisa saja menghabiskan waktuku untuk berbuat baik dengan kemahiran di dalam profesiku, sudah pasti niatnya baik, namun bila aku sampai melupakan hal yang lebih prioritas maka jadinya tidak baik. Tentu saja baik bagi orang lain, tapi tidak baik bagi dirku, aku harus lebih bisa menahan diri.

Bahkan dalam pikiran yang lebih radikal aku sering berpikir perbuatan baikku ini tidak baik karena aku berharap imbalan. Padahal faktanya perbuatanku itu baik dan bermanfaat bagi orang lain, namun karena bagian lain dalam diriku berharap imbalan, maka aku memutuskan bahwa itu jadinya tidak baik.

Saat umurku lebih muda lagi, aku sering berada di situasi seperti itu. Aku banyak membuat sesuatu yang memudahkan orang lain dalam bekerja, tentu saja saat itu banyak hal yang aku inginkan sebagai imbalan, entah namaku yang ingin lebih dikenal, entah mendapat pahala, entah aku akan mudah mendapatkan pekerjaan.

Aku tidak pernah berpikir bahwa tindakan seperti itu salah, silahkan saja bila kamu ingin berpikir seperti itu, aku sama sekali tidak akan mengejekmu.

Bagaimanapun setiap perbuatan baik tetap saja baik dan bermanfaat, bicara soal ketulusan dan niat itu sudah soal yang lain. Saat kamu memberi sejumlah uang pada orang miskin dengan niat ingin pamer, tetap saja nilai uangnya tidak akan berubah hanya karena niatmu tidak benar-benar tulus.

Setiap bertambahnya umurku, seringkali terjadi peristiwa-peristiwa yang mengajakku berpikir ulang soal apa saja yang sudah menjadi landasan hidupku saat itu. Mungkin itu soal prioritas, berbuat baik, niat, ketulusan, kebahagian, bahkan soal cinta.

Tentu saja prioritasku adalah diriku sendiri, aku tidak mungkin dapat mencintai orang lain bila aku tidak mencintai diriku sendiri. Standar kebahagiaanku aku letakkan serendah mungkin, agar aku mudah dalam menggapainya.