8 min read

Tidak Semua Mampu Kuliah

Aku ingat betul saat masih kelas satu sekolah dasar, aku adalah siswa yang sering dimarahi oleh guru. Bukan tanpa sebab, aku dimarahi karena tulisanku yang begitu buruk, bahkan seringkali aku sendiri tak bisa membacanya kembali.

Teman-temanku yang lain tidak seperti itu, mereka normal-normal saja, mampu menulis dengan begitu rapi. Aku duduk bersebelahan dengan murid yang paling pintar di kelasku, ini yang membuat situasinya lebih parah, seolah-olah Bu guru melihat si bodoh dan si pintar secara kontras.

Bukan hanya soal tulisan yang buruk, seringkali pada pelajaran lain pun aku lamban untuk mencerna materi pelajaran.

Saat itu aku sudah naik kelas 4 SD dan kami sedang belajar matematika, seperti biasa Bu guru menjelaskan materi dan setelahnya memberi soal untuk latihan. Teman di sebelahku sudah mulai mengerjakannya, sedangkan aku masih bertanya pada temanku tentang materi pelajaran yang baru saja diajarkan tersebut, aku tak bertanya pada guru karena sudah pasti aku akan diumpat.

Kendati seperti itu, aku tak pernah menangis atau bahkan berkecil hati hanya karena dimarahi atau dibentak oleh guru, aku hanya bercerita pada ibuku sepulang sekolah. Ibuku tak pernah memarahiku hanya karena tulisanku buruk atau karena cara belajarku yang acapkali lamban. Ibuku hanya bilang, "Nggak apa-apa, gurumu aja yang nggak ngerti tulisanmu itu. Nanti juga tulisanmu jadi lebih bagus.".

Tulisan tanganku sampai saat ini begitu buruk, namun mendengar perkataan ibuku saat masih kecil sangat membuatku tenang. Aku tahu tulisan tanganku buruk, tapi aku berusaha untuk membuatnya menjadi lebih baik, kendati hasilnya tetaplah buruk.

Situasi belajar seperti itu menjadi lumrah bagiku. Saat aku sekolah menengah pun begitu, entah itu sedang belajar matematika, kimia, fisika, atau bahasa Indonesia. Sikap guru yang tidak ramah membuatku lebih sering bertanya pada teman sebangku ketimbang pada guru.

Sistem belajar di sekolah tentu saja terstruktur, seperti mulai dari pukul 7 pagi, berakhir pada pukul 13 siang. Begitu juga dengan setiap mata pelajaran, setiap guru harus berbagi waktu mengajar dengan guru-guru yang lain.

Tentu saja tidak akan menjadi masalah bagi siswa yang dapat memahami setiap pelajaran dengan cepat, mereka dapat memahami setiap materi pelajaran dalam 60 menit, dan 30 menit sisanya digunakan untuk mengerjakan soal latihan.

Bagiku, waktu tersebut sangat pendek, mungkin paling cepat aku butuh waktu 91 menit untuk memahami materi yang diajarkan guru. Waktu tersebut hanya untuk memahami, belum lagi aku perlu mengerjakan soal-soal latihan. Ya, aku masih perlu banyak waktu!

Sialnya, jam belajar sudah selesai, padahal aku saja belum memahami mata pelajaran yang diajarkan. Semua jawaban atas soal yang diberikan pun harus dikumpulkan, sedangkan kertasku masih kosong. Ah, aku harus menyalahkan siapa?

Saat itu aku tak pernah sadar jika cara belajarku lamban, yang aku pahami aku tidak sepintar teman-temanku yang lain. Bagiku saat sekolah, bukan hanya belajar, aku juga harus memaksa otak agar dapat mengejar waktu dan itu tidak pernah berhasil.

Hampir semua nilai mata pelajaran umumku pas-pasan, sisanya remedial. Bagusnya, nilai pelajaran komputerku tinggi semua. Aku ingat nilai mata pelajaran pemrograman web-ku sampai 96, dan untuk mata pelajaran komputer lainnya rata-rata di atas 85.

Aku tunjukkan nilai-nilai tersebut pada kakakku, dan dia bilang, "Kalo begitu, fokus belajar mata pelajaran komputer aja, yang lain biar remedial.". Setelah itu aku lebih percaya diri, seolah aku tahu tujuanku belajar dan aku tidak perlu merasa terbebani saat nilai-nilai pelajaran umumku remedial.

Sudah dapat ditebak hasil berikutnya, nilai pejalaran umumku semakin buruk dan nilai mata pelajaran komputerku semakin konsisten dan cenderung ada peningkatan. Bahkan saat aku sekolah menengah dulu, aku sangat jarang pergi keluar rumah, aku habiskan waktuku, setelah pulang sekolah, di rumah untuk berada di depan komputer.

Aku ingat betul belajar bahasa pemrograman PHP dari kertas fotokopian yang diberikan oleh kakak sepupuku yang sedang kuliah. Komputerku hanya memiliki 1 GB RAM dan 80 GB HDD, layarnya pun kecil hanya 14", tapi aku mempelajari banyak hal dengan komputer itu.

Hal yang aku rasakan saat belajar secara mandiri di rumah adalah kebebasan. Aku tak pernah merasa ditekan oleh guru atau siapapun. Tak ada yang mengumpatku saat aku keliru memahami pelajaran. Tak ada batas waktu yang membuatku merasa terlambat dalam belajar. Aku yang masih berumur 13 tahun pun begitu merasakan kenikmatan dalam belajar. Aku pun pernah menangis saat program PHP pertamaku berjalan dan memunculkan data dari database!

Saat aku belajar secara mandiri, aku bebas mencari materiku sendiri. Aku dapat mencarinya dari blog ke blog, dari satu kertas fotokopian ke kertas yang lain, dari buku ke buku. Saat itu, sumber belajar online hanya aku dapat temukan di blog. Masih sangat terbatas sumber belajar berupa video, khususnya yang berbahasa Indonesia, pun belum populer hal semacam bootcamp.

Kebiasaan belajar secara mandiri berlangsung hingga tulisan ini aku buat. Kecepatan teknologi yang begitu masif semakin mendukung cara belajarku. Mungkin dulu aku cukup terbatas dalam sumber daya belajar, namun minat belajarnya tetap ada. Sekarang, sumber daya belajar tak terbatas, dan minat belajarnya tak pernah mati!

Sangat berbeda jauh cara belajarku dengan apa yang sekolah terapkan. Kondisi seperti ini yang menambah capek buatku. Sebab setiap pagi hingga siang aku harus pura-pura belajar, dan siang hingga malam aku harus belajar dalam arti sebenarnya. Namun, karena umurku yang masih begitu muda, jadi aku sangat menikmatinya dan malah aku jarang sekali jatuh sakit.

Aku tak pernah menyalahkan cara belajar di sekolah, aku hanya jengkel pada orang yang memaksaku untuk memahami atau bahkan menguasai sesuatu yang memang aku tidak minati. Pun aku jengkel pada orang-orang yang memaksaku harus tetap patuh pada satu metode belajar yang sama sekali tidak sesuai dengan kemampuanku.

Tentu saja saat itu aku tak pernah paham soal-soal semacam ini, bahkan aku tak pernah menyadari bahwa cara belajarku lamban, yang aku pahami adalah aku tidak sepintar temanku yang lain dan cenderung membuatku minder.

Seharusnya orang-orang yang lebih tua di sekolah yang memiliki kesadaran ini, merekalah yang bertanggungjawab atas masa depanku, seharusnya mereka paham untuk menempatkanku pada tempat yang semestinya.

Saat masa sekolah menengahku telah usai, aku merasa gembira. Hal pertama yang aku sadari adalah aku capek sekolah, bukan capek belajar. Aku tidak pernah merasa capek saat belajar, apalagi belajar hal yang aku sangat minati.

Aku hanya capek harus mengikuti sistem belajar yang formal. Sialnya, kakakku memaksakku untuk mengambil kuliah setelah aku lulus sekolah menengah. Dia memiliki keyakinan bahwa bila tidak memiliki ijazah kuliah maka akan sulit mendapat kerja. Ironinya, aku sudah bekerja saat itu menjadi staf IT di suatu Yayasan pendidikan di kotaku.

Tentu saja aku pernah mencoba menolak, namun dengan argumenku yang menurutnya tidak valid, pun aku tidak memiliki keberanian penuh untuk membantah, aku ikuti saja kemauan dia pada akhirnya. Dia bilang bahwa aku tidak perlu serius-serius kuliahnya, sebab aku hanya butuh ijazahnya saja.

Aku percaya keputusannya adalah bentuk rasa sayang dan rasa kekhawatiran untuk masa depanku, walaupun dalam hatiku yang paling dalam itu merupakan sebuah bentuk 10 dosa besar.

Sungguh, sudah dapat diprediksi masa-masa kuliahku seperti apa. Jadwal kuliahku dari hari senin hingga sabtu, namun aku hanya masuk 2 atau 3 hari saja. Bagiku kuliah membuang waktu, di kampus aku hanya basa-basi belajar dengan dosen yang rata-rata tidak kompeten, sedangkan dengan durasi waktu yang sama aku bisa meningkatkan kemampuanku dengan belajar hal-hal yang lebih aku minati.

Kurikulum kampus yang begitu kadaluarsa, diisi oleh dosen-dosen pengabdi, dikelola oleh pengurus konservatif; begitulah rumus kampus yang tidak adil. Di ruang kelas seringkali hanya terdapat transaksi ilmu pengetahuan, tidak dengan suasana belajar.

Aku tak pernah benci kuliah atau bahkan anti kuliah. Jika aku seperti itu, tentu akan kubakar seluruh kampus yang ada di dunia satu per satu. Masalahnya tetap sama, seperti saat aku sekolah, bedanya aku sudah tumbuh lebih dewasa. Tubuhku lebih tinggi sehingga aku dapat melihat seluruh variabel ketidakadilan.

Bukan hanya pada diriku, juga seluruh teman kampusku yang lain. Pada mereka yang serius hendak mengubah jalan hidupnya. Pada mereka yang menyisihkan sisa tenaganya. Pada mereka yang rela memangkas gaji untuk diberikan pada manusia-manusia tidak bertanggunjawab. Sungguh, dulu aku pernah berpikir untuk mengadukan mereka pada Tuhan! Brengsek!

Bagiku kuliah hanya sebatas hal teknis, tentu hakikatnya adalah pendidikan. Pendidikan dapat diperoleh di luar kampus. Bila sekolah, kuliah dan pendidikan formal lainnya adalah wajib, bagaimana dengan orang yang tidak mampu sepertiku?

Bagiku mampu bukan sekadar persoalan finansial, tapi kemampuan memahami metode belajar yang diterapkan, kemampuan mengejar, kemampuan mengimbangi apa yang dimaksud oleh pengajar.

Mungkin saja aku dapat mengusahakan bagian finansial agar dapat pergi ke sekolah atau kuliah yang lebih baik, tapi apakah cara belajarku akan menjadi cocok? Tentu, sama saja. Aku akan tetap memaksa otak agar terus mengejar dan memahami setiap pelajaran yang diberikan.

Sedangakan dengan durasi waktu yang sama, aku dapat belajar dengan metode yang lebih cocok denganku. Bukankah itu menjadi buang-buang waktu? Aku harus tetap berpura-pura.

Seandainya aku boleh membandingkan, tentu lebih baik orang-orang yang serius belajar di luar pendidikan formal ketimbang orang-orang yang pergi ke kampus hanya untuk menitip absen. Tentu, esensinya tidak sampai, 'kan? Terkesan dikotomis kedengarannya, namun faktanya seperti itu.

Saat aku kuliah, setiap harinya aku mulai beradaptasi dengan waktu kampus. Selama empat tahun aku seperti itu. Sepanjang aku kuliah, sebenarnya tidak berjalan mulus. Pada semester 5 misalnya, aku sudah mulai merencanakan keluar dari kampus, sebab saat itu aku mulai dapat banyak pekerjaan sampingan.

Sialnya, kakakku masih tidak memberi izin. Bila dipikir sekarang, mengapa aku dahulu tidak memiliki keberanian untuk –secara radikal– keluar dari kampus begitu saja. Entahlah, mungkin umurku yang masih begitu muda dan tidak percaya diri dengan masa depanku.

Karena masa kuliahku sudah di pertengahan, tentu alasan aku tidak boleh keluar adalah karena masa kuliahku sudah di pertengahan.

Di masa kuliah seperti itu, mata kuliah mulai berkurang, sehingga dalam sebulan mungkin aku masuk hanya beberapa kali saja. Itupun aku maksudkan hanya untuk bertemu teman. Jika bertemu teman di luar kampus dan mereka mengajakku untuk pergi ke studio musik, tentu aku lebih memilih belajar di studio musik. Aku tidak bolos, hanya saja tempat belajarku dialihkan dan aku lebih tertarik belajar musik~

Seiring bertambahnya semester, juga berarti umurku bertambah. Hal yang aku pelajari adalah semakin umurku bertambah semakin keberanian dan pikiran-pikiran kritisku muncul. Mungkin memang pengaruh dari buku dan pelajaran-pelajaran filsafat yang aku konsumsi. Aku mulai tertarik pada materi-materi belajar berpikir kritis pada umur akhir belasan dan awal 20-an.

Sebab itu juga pikiran-pikiran untuk keluar dari kampus pun muncul kembali, memang pikiran tersebut tak pernah hilang, hanya saja terbenam, butuh argumen yang kuat untuk menyulutnya agar kembali hidup dan menjadi ledakan.

Saat itu di semster akhir, aku sedang menyusun skripsi sambil membantu skripsi teman-temanku yang lain. Banyak dari mereka tak bisa membuat program untuk skripsi, sehingga aku membuatkannya dari awal, sebagian yang lain tak begitu pandai dalam penulisan, jadi aku bantu mereka bagian penulisannya.

Di saat itu juga justru birahi untuk keluar dari kampus sudah mencapai orgasme, tak bisa ditahan, disulut dengan argumen-argumen yang sudah aku bentuk semasa aku kuliah. Pada saat itu juga kakakku justru setuju untuk aku keluar dari kampus. Aku sungguh yakin, bahwa cara berpikir kakakku semakin lebih terbuka dari sebelumnya.

Padahal, saat itu juga skirpsiku sudah dikumpulkan dan aku hanya perlu pergi sidang. Teman-temanku yang lain pergi sidang dan aku sendirian tidak pergi. Bagi mereka aku bodoh, sebab hanya tinggal selangkah lagi maka aku akan menjadi seorang sarjana, tapi sebenarnya mereka tidak paham, justru aku memang menyengaja tidak pergi agar tidak menjadi sarjana.

Wisuda merupakan sebuah peristiwa sederhana, namun menjadi seorang sarjana artinya ada nama kampus yang menempel pada diri. Aku menyengaja tidak menjadi sarjana pada kampus yang buruk agar hal-hal tersebut menzarah dan dilupakan.

Aku tak pernah menyalahkan siapa-siapa perihal kondisi belajarku. Sebab tidak ada gunanya meratapi kondisi hidup. Aku hanya berpikir bagaimana aku bisa tetap memperoleh pendidikan dengan cara belajarku yang tidak umum. Pun jangan bandingakan orang sepertiku dengan mereka, sebab mereka berlari pada setapak yang sudah dilalui banyak orang.

Beberapa waktu yang lalu, adikku baru saja lulus kuliah di salah satu kampus negeri di Jakarta. Ia seorang yang sangat pandai dalam bidang matematika dan pelajaran umum lainnya, itu mengapa ia selalu memenuhi syarat masuk ke pendidikan negeri.

Semua anggota keluarga sangat mendukung keputusannya untuk kuliah hingga lulus, sama seperti saat mendukungku untuk kuliah hingga tidak lulus. Aku mendukungnya dengan memenuhi kebutuhan finansialnya, seperti indekos atau keperluan kuliah yang lebih spesifik.

Aku menikmati melakukannya. Selain karena merasa sebagai seorang kakak aku memiliki tanggungjawab atas adikku, aku pun mengamati bahwa ia telah mendapat metode terbaiknya dalam memperoleh pendidikan, yaitu lewat kampus.

Kuliah hanya satu dari sekian metode yang dapat digunakan untuk memperoleh pendidikan. Aku dapat memperoleh pendidikan dengan metodeku sendiri, kendati tidak umum namun aku sangat menikmatinya. Tak semua orang dapat menikmati kenikmatan dalam belajar. Aku pernah sekolah dan juga kuliah, namun kenikmatan belajar aku alami saat aku belajar mandiri.

Tidak apa-apa tidak kuliah, sebab tidak semua mampu kuliah, tidak semua kuliah perlu diluluskan, dan tidak semua lulus bisa dipekerjakan.