4 min read

Dipaksa Sempurna Di Tengah Masyarakat Yang Menghakimi

Aku pernah bertanya pada guru ngajiku, waktu itu pagi setelah "mencoret-coret" kitab, aku bertanya soal sesuatu yang aku sendiri tidak ingat pertanyaanya, namun ada kalimat yang aku ingat, "...hari ini bisa saja kamu yang benar, dan temanmu salah. Besok-besok bisa jadi temanmu yang benar, dan kamu yang salah. Kebenaran yang mutlak hanya Al-Quran...".

Manusia sudah pasti salah, berbuat apapun pasti salah, bila belum salah hanya tinggal menunggu salah. Karena itu memang tabiat manusia. Tapi kenapa manusia "modern" tidak memahami ini?

Orang yang berprilaku buruk bisa saja punya kebaikan yang tidak bisa dilihat di siang hari. Begitu pula orang yang berprilaku baik di siang hari, kita tidak pernah tahu prilaku buruknya setelah matahari tenggelam.

Mungkin saja menjaga aib sendiri bukan karena takut Tuhan, tapi karena takut dihakimi orang lain. Karena tidak bisa membayangkan ketika ada nama kita di dalam kotak trending sosial media dan ternyata isinya semua hujatan seperti air terjun.

Hujatan yang satu masih di sungai, sedangkan satu yang lainnya setelah hujatan lain jatuh

Aku tidak bilang, "maka berbuat buruklah, karena tabiat manusia itu salah". Aku hanya tidak habis pikir, mengapa manusia-manusia ini berasa paling sempurna? Bukankah sebelum memberitahu rumah orang lain terbakar, pastikan dahulu api di rumah kita sudah benar-benar padam?

Tentu orang yang salah dan melanggar hukum ya perlu dihukum, tapi ini soal menanggapi suatu kesalahan seseorang secara pribadi. Tidak jarang juga hal seperti ini dijadikan manfaat karena punya rasa ketidaksukaan terhadap pribadinya sedari dulu.

Seperti tidak suka terhadap seseorang entah karena apa, kemudian seseorang tersebut kebetulan ada satu keburukannya terungkap. Momen inilah yang seringkali dijadikan manfaat. Biasanya akan diekploitasi lebih jauh lagi pribadinya karena satu celah ini, dengan harapan menemukan keburukan-keburukan yang lain untuk diekspos.

Kadang manusia lupa konteks. Bisa jadi satu keburukan yang lalu sudah diperbaiki. Lalu keburukan yang baru ini adalah keburukan dia yang lainnya. Bukan malah digunakan untuk menambah "value" dalam menghakimi seseorang.

Peristiwa seperti itu seringkali terjadi di Internet, di mana kecepatan tangan lebih cepat ketimbang kecepatan berpikir. Otak dijadikan media penyimpanan bak hardisk, bukannya digukanan seperti processor. Hal ini yang menjadi masalah, karena masyarakat akan berprilaku sesuai ingatan yang masyarakan lain lakukan. Bila masyarakat lain mengumpat, maka yang lainnya akan mengumpat. Entah apa persoalannya yang penting seragam dan yang penting hasratnya mengumpatnya terpenuhi.

Jangankan di Internet, di sekitar kita mungkin saja sering terjadi. Yang tidak kalah lucu itu ketika ada orang yang berbuat mesum kemudian dibubarkan tapi sambil direkam. I mean, WTF? Rekamannya memang untuk apa? Untuk menyebarkan perbuatan buruk sesorang? Bagaimana bila orangnya sudah memperbaiki diri, sedangkan rekaman keburukan dia tidak pernah bisa dilenyapkan? Berarti orang yang merekam sama saja tidak memberi kesempatan untuk orang lain memperbaiki diri. Tapi kan itu sanksi sosial? Wah sanksi sosial yang panjang, ya!

Sudah tentu aku tidak membenarkan kegiatan mesum seperti itu. Tapi mengekspos keburukan orang lain itu juga sama-sama tidak benar. Orang yang berbuat keburukannya mungkin dia akan taubat dan diampuni, sedangkan orang yang mengekspos keburukannya lebih sulit menurutku, berkat dia banyak orang yang menonton keburukan tersebut, yang mungkin saja menjadi dosa jariyah. Berada di dalam lingkungan masyarakat seperti ini berat rasanya. Seakan bebas tapi tidak bebas.

Bila ada seorang mahasiswa yang berkelakuan buruk, dia akan dicari berkuliah di universitas mana. Bila ada seorang jurnalis membagikan pikiran pribadinya, dia akan dicari dari pers mana. Bila ada seorang oknum polisi yang ditangkap karena melanggar hukum, maka seluruh polisi tidak dipercayai lagi. Pikiran-pikiran seperti itu yang sering terdengar hari-hari ini, bahkan yang sering terjadi juga.

Tidak ada kampus yang mengajari hal buruk, bila ada satu mahasiswa yang berkelakuan buruk ya berarti memang pribadi si mahasiswa yang buruk. Mengadu ke kampus di mana dia berada agar diberi hukuman ya tidak masalah, tapi bila sampai mem-blacklist, ya itu tidak masuk akal.

Ini juga yang menjadi alasan ketika terdapat suatu peristiwa yang tidak baik di suatu sekolah yang dilakukan oleh siswa maka kepala sekolah biasanya bilang, "jangan sampai berita ini ke luar sekolah ya!". Karena bila sampai masyarakat tahu, maka akan hilang trust kepada sekolah tersebut. Bila masyarakatnya cerdas maka hal ini ya tidak menjadi masalah. Masa karena seorang siswa yang buruk, maka sekolah menjadi tidak layak?

Begitu juga dengan seorang jurnalis, bila dia punya pikiran pribadinya terkait sesuatu, seburuk apapun itu ya itu urusan pribadinya. Media di mana dia bekerja boleh saja memecatnya, tapi tidak serta-merta pers tersebut tidak lagi kredibel.

Begitu juga dengan polisi, jika ada satu polisi berkelakuan buruk ditangkap bukan berarti keseluruhannya menjadi buruk juga. Kan seharusnya bagus bila ada polisi menangkap oknum polisi yang melanggar hukum, artinya polisi itu adil. #BISMILLAHKAPOLRI

Tapi yang paragraf terakhir itu serius juga, lho.

Ketika hidup di masyarakat yang judgemental orang akan cenderung sembunyi-sembunyi, hidup dikelilingi rasa takut salah, dan pada akhirnya juga tidak ada keberanian mencoba.

Contoh lain yang paling sederhana itu adalah kampus atau sekolah. Kalo kamu kuliah kemudian saat dosen menjelaskan fafifuwasweswos dan bertanya kepada mahasiswa soal sesuatu. Katakanlah kamu yang menjawab dan salah, seringkali ditertawakan. Bahkan bertanya sesuatu yang kamu benar-benar tidak tahu tapi menurut dosen itu adalah sesuatu yang basic, akhirnya dosen cuma menjawab, "gitu aja kok ditanyain" dan diakhiri dengan gelak tawa satu ruangan.

Jawab salah kok diketawain? Ya kalo lo bisa jawab yang bener, jawab aja sama lo, Anjing!

Akhirnya peristiwa-peristiwa tidak enak tersebut akan selalu teringat yang bikin prilaku kita menjadi berubah. Yang tadinya aktif diskusi atau aktif bertanya malah nggak mau nanya-nanya lagi. Sial, bener!

Jadi seolah-olah kita hidup sebagai manusia harus sempurna: tidak boleh salah dan tidak boleh memiliki masa lalu yang buruk. Apakah manusia dewasa ini sudah kekurangan urusan sehingga mengurusi urusan yang lain? Apakah manusia dewasa ini sudah kekurangan kesalahan sehingga "mengemis" kesalahan orang lain?

Kadang aku juga jadi berpikir apa karena hidup di tengah masyarakat seperti ini yang membuat pemikiran-pemikiran minoritas itu sedikit.?Atau karena sedikitnya anti-thesis yang membentuk prilaku masyarakat menjadi menghakimi seperti ini?

Ya sudah lah, gw mending bikin tutorial saja di Yutub daripada mikirin yang beginian, nggak ada duitnya! Padahal bikin tutorial di Yutub juga nggak ada duitnya untuk saat ini~